Oleh: Siti Wahyu Puji Anggraini (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, UNW Mataram)
Di tengah kompleksitas pembelajaran bahasa Inggris di era digital, pelatihan guru bukan sekadar pengayaan teori, tetapi harus menjadi ruang transformasi paradigma. Hal inilah yang tercermin dalam Pelatihan Penyusunan Materi dan Asesmen Berbasis CEFR dengan Integrasi AI yang digelar pada 14–16 Juli 2025 di SMPN 2 Labuapi.
Kegiatan ini diikuti oleh guru-guru Bahasa Inggris dari berbagai sekolah di Lombok Barat yang ingin memperdalam pendekatan berbasis Common European Framework of Reference (CEFR), serta mengenal teknologi Artificial Intelligence (AI) sebagai alat bantu dalam menyusun materi dan asesmen yang lebih adaptif dan kontekstual.
Hari Pertama: Menyusun Fondasi Pemahaman
Pelatihan dibuka oleh Ibu Siti Wahyu Puji Anggraini, M.Pd. selaku ketua pelaksana, yang menekankan pentingnya penguasaan CEFR sebagai pijakan untuk meningkatkan kualitas pengajaran bahasa di sekolah.
“CEFR itu bukan tren, tetapi alat navigasi agar kita tidak salah arah dalam mengajar. Kita harus tahu siswa kita ada di mana sebelum membawa mereka ke mana-mana,” tegas beliau.
Sesi berikutnya diperkaya oleh pemaparan Bapak Muh Junaidi, M.Pd. yang membahas Can-Do Statements dan pentingnya menyusun pembelajaran berdasarkan level kemampuan siswa, bukan asumsi kurikulum semata.
“Jangan sampai kita kasih materi B1 padahal siswa kita masih di A1. Itu seperti menyuruh anak belajar berenang di laut, padahal mereka belum pernah masuk kolam,” ujar Pak Jun dengan analogi yang menyentuh.
Para peserta pun diajak langsung menyusun profil CEFR siswa mereka. Diskusi berjalan hidup dan reflektif, terutama ketika membahas tantangan overtesting.
“Kita terlalu sering memberi tes, sampai lupa memberi umpan balik. Akhirnya siswa jenuh dan merasa tidak berkembang,” ungkap Bu Ayu, salah satu narasumber sekaligus dosen pendamping.
Hari Kedua: Kolaborasi CEFR dan AI dalam Desain Pembelajaran
Di hari kedua, pelatihan memasuki fase teknologi. Para guru dikenalkan dengan berbagai aplikasi AI seperti ChatGPT, Canva, dan Grammarly sebagai alat bantu dalam merancang materi dan asesmen.
“Saya baru pertama kali mencoba AI. Awalnya ragu, tapi ternyata sangat membantu. Sekarang saya bisa bikin soal, rubrik, bahkan bahan ajar hanya dengan mengetik beberapa instruksi,” ungkap Pak Zaidun.
“AI ini bukan untuk menggantikan kita, tapi membantu kita jadi lebih kreatif. Yang penting kita tetap jadi pengarahnya,” tambah Bu Sari.
Dalam sesi praktik, para peserta menyusun materi ajar interaktif berbasis CEFR dan AI. Suasana kelas berubah menjadi ruang eksperimen pedagogis.
“Biasanya saya kesulitan cari teks dan soal yang sesuai level siswa. Sekarang, saya bisa menyesuaikan konten dengan CEFR lewat AI. Ini betul-betul membuka wawasan,” ujar Bu Ema.
Hari Ketiga: Simulasi Pembelajaran Nyata Berbasis CEFR & AI
Puncak pelatihan adalah simulasi pembelajaran. Salah satu kelompok mengawali kelas dengan gim interaktif, lalu mengajak siswa menulis ringkasan dari teks deskriptif, sebelum akhirnya membaca karya mereka di depan kelas.
“Kami ingin siswa aktif mencari makna sendiri, bukan hanya diberi. Itu sebabnya kami tidak menjelaskan semua hal di awal,” jelas Bu Ana.
“Materi sudah bagus, tapi jangan lupa sampaikan tujuan pembelajaran di awal. Itu penting agar siswa tahu arah belajarnya,” saran Bu Maemunah.
“Kita tidak hanya sedang belajar teknologi, tapi membiasakan diri merancang pembelajaran dengan kerangka yang jelas,” ujar Pak Rahmat.
Menutup dengan Harapan dan Tanggung Jawab Baru
“Saya ingin mulai dari yang sederhana dulu: memperbaiki rubrik dan mulai mengenalkan listening dengan audio pendek dari British Council,” kata Bu Siti.
“Kami ingin menyusun modul CEFR yang bisa dipakai di semua kelas, agar pengajaran jadi lebih terarah dan tidak asal ‘menghabiskan materi’,” tambah Pak Zaidun.
“Saya ingin sepuluh orang yang mengikuti pelatihan ini menjadi pelopor. Jangan simpan ilmunya sendiri. Bagikan di forum MGMP, agar praktik baik ini menyebar,” tutup Ketua MGMP, Bapak Rahman.
Penutup
Pelatihan ini bukan hanya soal teori atau teknologi. Ia adalah proses pembelajaran kolektif yang menyadarkan bahwa guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi perancang pengalaman belajar yang bermakna. Dengan CEFR dan AI sebagai alat bantu, guru bisa menghadirkan pembelajaran yang lebih adil, manusiawi, dan relevan dengan zaman.
Pelatihan telah usai, tetapi perjalanan baru saja dimulai.